Bagaimana Teks Ilmiah Membentuk Diskursus Ilmu Pengetahuan 2B

Bagaimana Teks Ilmiah Membentuk Diskursus Ilmu Pengetahuan

ABSTRAK

Teks ilmiah merupakan medium utama dalam membangun, menyebarkan, dan mempertahankan diskursus ilmu pengetahuan. Tidak hanya berfungsi sebagai sarana dokumentasi hasil penelitian, teks ilmiah juga menjadi instrumen yang menentukan standar validitas, mengatur otoritas pengetahuan, serta membentuk norma epistemik dalam komunitas akademik. Artikel ini membahas bagaimana teks ilmiah membentuk diskursus ilmu pengetahuan dengan menelaah aspek retorika, sitasi, genre, aksesibilitas, serta implikasi sosial dan politiknya. Dengan pendekatan analisis literatur dan studi kasus di Indonesia, tulisan ini berargumen bahwa teks ilmiah bukanlah wadah pasif, melainkan arena aktif yang memengaruhi siapa yang dapat berbicara, apa yang diakui sebagai pengetahuan, dan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang. Pada akhirnya, dibutuhkan keterbukaan metodologis, akses yang lebih inklusif, serta literasi ilmiah yang lebih luas agar diskursus ilmu pengetahuan dapat berkembang secara adil dan berkelanjutan.

Kata Kunci: teks ilmiah; diskursus; ilmu pengetahuan; sitasi; aksesibilitas; Indonesia


PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu hadir melalui medium tertentu, salah satunya teks ilmiah. Artikel, jurnal, laporan penelitian, hingga buku akademik menjadi sarana utama untuk mengomunikasikan temuan dan gagasan ilmiah. Namun, lebih dari sekadar alat komunikasi, teks ilmiah memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana ilmu pengetahuan dipahami, dikembangkan, dan disebarkan. Struktur bahasa, aturan penulisan, praktik sitasi, hingga aksesibilitas publikasi turut memengaruhi arah perkembangan diskursus ilmiah.

Di Indonesia, peran teks ilmiah semakin menonjol seiring kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mewajibkan dosen dan mahasiswa menghasilkan publikasi sebagai salah satu indikator kinerja akademik. Akibatnya, dinamika produksi teks ilmiah tidak hanya menjadi persoalan akademis, tetapi juga kebijakan publik dan tata kelola pendidikan tinggi.


PERMASALAHAN

Beberapa permasalahan yang muncul terkait peran teks ilmiah dalam diskursus pengetahuan antara lain:

1. Konvensi Retoris: Apakah format penulisan ilmiah yang baku (IMRAD: Introduction, Methods, Results, and Discussion) memperkuat objektivitas atau justru membatasi kreativitas ilmuwan?

2. Praktik Sitasi: Bagaimana sitasi menciptakan hierarki otoritas akademik dan memengaruhi arah penelitian?

3. Dominasi Bahasa: Apakah dominasi bahasa Inggris dalam publikasi internasional membatasi kontribusi ilmuwan dari negara lain, termasuk Indonesia?

4Aksesibilitas: Bagaimana model publikasi berbayar (paywall) menghambat keterlibatan ilmuwan dari institusi dengan sumber daya terbatas?

5. Implikasi Sosial: Bagaimana teks ilmiah yang dikutip dalam kebijakan publik dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap sains?


PEMBAHASAN

1. Struktur Retoris dalam Teks Ilmiah

Teks ilmiah biasanya mengikuti format standar (IMRAD) yang menekankan sistematika dan objektivitas. Struktur ini memberi legitimasi pada klaim ilmiah karena pembaca dapat menelusuri logika penelitian dari latar belakang hingga hasil. Namun, seperti dikemukakan Bazerman (1988), struktur retoris bukanlah netral; ia membentuk cara pengetahuan disajikan dan diterima.

Di Indonesia, hal ini terlihat dalam pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang hampir selalu mengikuti struktur IMRAD. Walaupun membantu konsistensi, format tersebut kadang menyulitkan penelitian humaniora dan seni yang membutuhkan gaya penulisan lebih naratif dan reflektif.

2. Sitasi sebagai Mekanisme Kekuasaan

Sitasi berfungsi sebagai penghubung antarpenelitian, tetapi juga sebagai bentuk distribusi kekuasaan. Kuhn (1962) menekankan bahwa paradigma ilmiah terbentuk melalui akumulasi sitasi yang mengukuhkan teori tertentu.

Dalam konteks Indonesia, fenomena “publish or perish” menimbulkan praktik sitasi berlebihan dan terkadang tidak relevan, semata-mata untuk memenuhi standar kuantitatif akreditasi jurnal atau penilaian SINTA (Science and Technology Index). Hal ini menunjukkan bagaimana teks ilmiah bukan hanya produk akademik, tetapi juga instrumen kebijakan.

3. Genre Ilmiah dan Ruang Diskursif

Swales (1990) berargumen bahwa teks ilmiah adalah bagian dari “komunitas wacana” yang diatur oleh norma dan ekspektasi bersama. Genre ilmiah yang kaku dapat memperkuat homogenitas metode dan pendekatan.

Di Indonesia, jurnal nasional terakreditasi (SINTA 1–6) cenderung mengadopsi format jurnal internasional. Konsekuensinya, penelitian lokal berbasis kearifan budaya atau praktik masyarakat kadang dianggap kurang “ilmiah” karena tidak sesuai format dominan, padahal berpotensi memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan daerah.

4. Bahasa dan Aksesibilitas

Diskursus ilmu pengetahuan global didominasi oleh bahasa Inggris. Di Indonesia, banyak dosen dan peneliti menghadapi kesulitan karena keterbatasan kemampuan bahasa Inggris akademik. Akibatnya, publikasi internasional sering hanya dapat diakses oleh peneliti yang memiliki dukungan institusional atau dana tambahan.

Meski pemerintah mendorong publikasi di jurnal internasional bereputasi, masih banyak penelitian penting yang hanya terbit di jurnal lokal dengan akses terbatas. Di sisi lain, gerakan open access mulai tumbuh, terutama melalui repositori universitas dan jurnal nasional berbasis OJS (Open Journal System), yang membuka peluang lebih luas untuk keterlibatan akademisi muda dan masyarakat umum.

5. Teks Ilmiah dalam Ruang Publik dan Kebijakan

Teks ilmiah di Indonesia juga sering digunakan sebagai dasar kebijakan, misalnya dalam isu pendidikan, kesehatan masyarakat, atau lingkungan. Namun, penyederhanaan temuan ilmiah menjadi rekomendasi kebijakan terkadang mengabaikan kompleksitas metodologis. Misalnya, penelitian tentang kebijakan kurikulum atau vaksinasi publik sering diperdebatkan di media sosial, di mana teks ilmiah dipotong sebagian dan digunakan untuk mendukung argumen tertentu. Hal ini menunjukkan pentingnya literasi ilmiah tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga di kalangan pembuat kebijakan dan masyarakat luas.


KESIMPULAN

Teks ilmiah adalah arena aktif yang membentuk diskursus ilmu pengetahuan, bukan sekadar wadah netral. Struktur retoris, praktik sitasi, genre ilmiah, dominasi bahasa, dan aksesibilitas semua berkontribusi pada cara pengetahuan diproduksi, divalidasi, dan disebarkan. Di Indonesia, peran teks ilmiah semakin kompleks karena terkait erat dengan kebijakan publikasi, akreditasi jurnal, dan dorongan internasionalisasi.


SARAN

1. Diversifikasi Format Publikasi: Jurnal di Indonesia sebaiknya lebih terbuka pada gaya penulisan yang sesuai dengan karakter penelitian lokal, terutama di bidang sosial, budaya, dan seni.

2. Praktik Sitasi yang Inklusif: Peneliti didorong untuk merujuk pada literatur lokal dan penelitian berbasis konteks Indonesia, bukan hanya literatur asing.

3. Akses Terbuka Nasional: Pemerintah perlu memperluas dukungan pada gerakan open access, termasuk repositori universitas dan pendanaan publikasi.

4. Pelatihan Literasi Ilmiah: Mahasiswa dan dosen perlu mendapatkan pelatihan menulis akademik dalam bahasa Inggris sekaligus pelatihan komunikasi sains kepada publik.

5. Kesadaran Epistemik: Penting bagi akademisi Indonesia untuk menyadari bahwa teks ilmiah adalah produk sosial yang selalu dipengaruhi kebijakan, bahasa, dan politik pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

Bazerman, C. (1988). Shaping Written Knowledge: The Genre and Activity of the Experimental Article in Science. University of Wisconsin Press.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.
Latour, B., & Woolgar, S. (1979). Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts. Princeton University Press.
Swales, J. M. (1990). Genre Analysis: English in Academic and Research Settings. Cambridge University Press.
Suryadi, A. (2019). Publikasi Ilmiah di Indonesia: Antara Kebutuhan Akademik dan Kebijakan Institusional. Jurnal Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15(2), 45–60.

 Berikut  3 contoh referensi ilmiah yang relevan dengan tema “Bagaimana Teks Ilmiah Membentuk Diskursus Ilmu Pengetahuan”:

  1. Swales, J. M. (1990). Genre Analysis: English in Academic and Research Settings. Cambridge: Cambridge University Press.
    → Membahas struktur retoris dan genre dalam teks ilmiah, termasuk pola IMRAD dan peranannya dalam komunikasi akademik.

  2. Hyland, K. (2004). Disciplinary Discourses: Social Interactions in Academic Writing. Ann Arbor: University of Michigan Press.
    → Mengulas bagaimana teks ilmiah membentuk identitas disiplin ilmu dan membangun diskursus melalui praktik sitasi serta otoritas akademik.

  3. Bazerman, C. (1988). Shaping Written Knowledge: The Genre and Activity of the Experimental Article in Science. Madison: University of Wisconsin Press.
    → Menganalisis bagaimana artikel ilmiah eksperimental menciptakan standar komunikasi pengetahuan dan membentuk tradisi diskursif dalam sains.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Era Internasionalisasi 2A